Masyarakat Adat di COP30: Suara yang Sering Terlupakan, Tapi Paling Menentukan

By Bowo Susilo - 09:43


Kalau ngomongin soal hutan, kebanyakan dari kita mikirnya cuma deretan pohon hijau yang adem dipandang mata. Tapi buat masyarakat adat, hutan itu jauh lebih dari sekadar pohon. Itu rumah mereka, dapur, sekolah, bahkan identitas yang udah diwariskan turun-temurun dari leluhur.

Aku baru benar-benar merasakan makna itu ketika kemarin ikut Zoom global meeting COP30. Buatku, itu pengalaman yang membuka mata, sekaligus bikin hati campur aduk. Ada rasa kagum, ada rasa sedih, tapi juga ada rasa tanggung jawab.

Suara dari Indonesia di Forum Dunia

Di forum itu, ada Kak Rukka Sombolinggi dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang jadi perwakilan Indonesia. Jujur, aku salut banget sama beliau. Cara beliau menjelaskan perjuangan masyarakat adat tuh sederhana, tapi ngena banget.

Kak Rukka cerita bagaimana masyarakat adat udah menjaga bumi sejak dulu. Dari ilmu turun-temurun, mereka tau kapan waktunya nanam, kapan harus berhenti mengambil hasil hutan, sampai cara merawat tanah agar tetap subur buat generasi berikutnya. Mereka menjaga bukan karena perintah, tapi karena rasa. Karena hutan udah jadi bagian dari jiwa mereka.

Ada satu kalimat yang benar-benar nempel di kepalaku:

“The Answer is Us.”

Jawabannya ada di kita semua. Bukan hanya tugas masyarakat adat, tapi tugas kita bersama.

Tantangan yang Nggak Kecil

Dari cerita Kak Rukka, aku juga jadi sadar bahwa perjuangan masyarakat adat itu nggak mudah. Banyak tantangan yang mereka hadapi, bahkan jauh sebelum isu krisis iklim jadi sorotan dunia.

Transisi energi yang katanya demi masa depan bersih, misalnya, ternyata seringkali bikin tanah adat tergusur. Dukungan global juga kadang cuma berhenti di atas kertas, tapi nggak sampai ke kampung-kampung.

Tapi di balik semua tantangan itu, masyarakat adat tetap bertahan. Mereka tetap membuka sekolah adat, mendampingi kasus-kasus perampasan hak, dan berusaha memulihkan wilayah yang rusak. Itu kerja panjang yang seharusnya kita apresiasi dan dukung sepenuh hati.

Perspektif dari Negara Lain

Yang bikin makin menarik, forum ini juga menghadirkan narasumber dari berbagai negara. Ada Laila Zaid, aktivis lingkungan dari Brasil, dan Lucia, seorang storyteller dari Spanyol.


Laila menekankan pentingnya komunikasi dan edukasi publik. Katanya, isu iklim itu nggak bisa berhenti di ruang rapat, harus sampai ke masyarakat lewat konten dan narasi yang relevan. Lucia juga bilang, storytelling itu kunci. Lewat cerita, pesan bisa lebih nyampe dan bikin orang ikut peduli.


Aku jadi mikir, sebenarnya peran kita sebagai content creator juga penting banget. Bukan cuma bikin konten buat hiburan, tapi juga bisa jadi medium buat menyuarakan hal-hal besar kayak gini.

COP30: Lebih dari Sekadar Pertemuan

Buat sebagian orang, COP30 mungkin cuma terdengar kayak forum internasional yang ribet, penuh istilah teknis, dan jauh dari kehidupan sehari-hari. Tapi dari yang aku alami, nyatanya nggak sesederhana itu.

COP30 adalah ruang di mana hampir 100 negara duduk bareng, nyari solusi buat krisis iklim global. Dan yang bikin aku terharu, masyarakat adat juga hadir dengan tuntutan yang jelas diantaranya:

1. Perlindungan hak kolektif.

2. Hentikan kriminalisasi.

3. Pemulihan wilayah.

4. Akses pendanaan langsung ke kampung.

Tuntutan ini bukan hanya soal Indonesia, tapi juga dialami masyarakat adat di seluruh dunia. Artinya, perjuangan ini lintas negara, lintas budaya, tapi punya tujuan yang sama: menjaga bumi tetap hidup.

Kenapa Kita Harus Peduli?

Jujur, pas denger semua cerita itu, aku jadi refleksi. Selama ini, kita sering mikir menjaga lingkungan itu tugas pemerintah, tugas aktivis, atau tugas masyarakat adat aja. Padahal, kalau mereka aja bisa berdiri di garis depan dengan segala keterbatasan, kenapa kita yang lebih “nyaman” malah cuek?

Menurutku, langkah kecil itu nggak pernah sia-sia. Bisa dimulai dari hal sesederhana ngurangin plastik sekali pakai, lebih bijak konsumsi, atau sekadar menyuarakan dukungan lewat media sosial. Karena semakin banyak orang yang peduli, semakin besar juga tekanan buat para pengambil kebijakan supaya nggak menutup mata.

Buatku pribadi, ikut forum ini bikin aku makin yakin kalau isu iklim itu bukan sekadar isu “orang lain”. Ini isu kita semua. Dan kalau kita diam, ya berarti kita ikut bertanggung jawab atas kerusakan yang terjadi.

Beruntung bisa ikut mendengar langsung suara masyarakat adat dari berbagai negara. Dari Kak Rukka di Indonesia, Laila di Brasil, sampai Lucia di Spanyol, semua punya pesan yang sama yaitu bumi ini cuma satu, dan kita harus jaga bareng-bareng.

Masyarakat adat udah kasih contoh nyata bagaimana menjaga alam dengan kearifan lokal yang bertahan ratusan tahun. Sekarang tinggal kita, apakah mau ikut berdiri bersama mereka, atau tetap jadi penonton pasif?

Buatku jawabannya jelas. Menjaga bumi bukan sekadar pilihan, tapi kebutuhan. Karena bumi ini bukan cuma milik kita hari ini, tapi juga warisan buat generasi berikutnya. Dan ingat… jaga bumi artinya juga jaga masa depan kita.

Salam,


  • Share:

You Might Also Like

0 komentar