EBS DAY OUT 2025: Menyusuri Aroma Perjuangan di Kaki Gunung Cikuray

By Bowo Susilo - 06:00


Tanggal 29-30 Agustus lalu, aku ikut dalam perjalanan EBS Day Out 2025 dengan tema Eco Adventure: Exploring Together. Dari awal, aku sudah merasa perjalanan ini bukan sekadar “jalan-jalan”. Ada nuansa berbeda, karena yang kami datangi adalah ruang hidup petani, tempat perjuangan mereka ditanam dan dipanen.

Begitu sampai di kantor SPP (Serikat Petani Pasundan), suasananya hangat. Bukan hanya karena sambutan kopi panas dan kawan-kawannya, tapi juga karena obrolan penuh makna. Di sana aku bertemu Kang Agustiana, yang dengan semangat menjelaskan soal Ekonomi Restoratif. Konsep ini sederhana tapi dalam. Bagaimana masyarakat bisa memulihkan ekonomi dari bawah, dengan kekuatan mereka sendiri.


Bayangin, SPP nggak cuma mengurus lahan atau hasil panen, tapi juga bikin sekolah swadaya dari PAUD, TK, SD, sampai SMK. Bahkan salah satu mata pelajarannya adalah mengenali potensi desa. Jadi sejak kecil, anak-anak sudah diajak paham bahwa tanah tempat mereka tinggal menyimpan masa depan. Salah satu contoh nyatanya Kopi Cikuray, kopi khas Garut yang sudah jadi kebanggaan.

Gotong Royong yang Nyata

Lanjut ngobrol dengan Kang Yudi, Ketua Dewan Suro, aku dibuat kagum. Katanya, masyarakat di sini sudah terbiasa membangun sendiri yakni mulai dari saluran air dari gunung, jalan desa, sampai rumah layak huni. Semua swadaya, nggak nunggu bantuan dari luar.

Tahun 2023, mereka bahkan menggagas sekolah gratis. Di Ciamis, sekolah itu masih berjalan, dari PAUD sampai SMK. Bayangin, di era serba komersial ini, ada organisasi yang rela bikin pendidikan dengan swadaya demi generasi berikutnya. Itu bukan main-main, itu mimpi yang diwujudkan.

Sementara itu, Teh Yani, Wakil Ketua Dewan Suro, bercerita tentang sejarah SPP yang sejak 1984 sudah dirintis, lalu resmi berdiri tahun 2000. Sampai sekarang sudah ada 13 sekolah berdiri, dan mereka bahkan lagi punya rencana bikin universitas! Nggak kebayang betapa besar dampaknya kalau universitas itu jadi nyata.

Selain pendidikan, produk unggulan masyarakat sini juga beragam dari Akar Wangi sampai tembakau. Bahkan sekarang SPP lagi bangun Rumah Jamur untuk pemberdayaan ekonomi. Dengan modal Rp30 juta, bisa balik modal di bulan pertama, hasil panennya bisa sampai Rp1 juta tiap kali. Itu artinya ada peluang nyata untuk masyarakat bangkit.

Menyapa Kehangatan Desa

Hari mulai sore ketika kami sampai di sebuah pondok pesantren, Al-Bayan. Dari anak-anak sampai orang tua, semua menyambut dengan senyum hangat. Didepan kami disuguhi dengan hasil kebun, jadi rasanya bener-bener “makan dari bumi sendiri”. Setelah itu, diskusi ngalir sebelum akhirnya aku dan teman-teman dibagi ke rumah orang tua angkat masing-masing.


Aku dan tiga temanku kebagian di rumah Pak Hayat, seorang petani Akar Wangi sekaligus pemilik penyulingan. Beliau sudah 26 tahun bergelut di bidang ini. Yang bikin aku kaget, harga satu tungku penyulingan aja mencapai Rp700 juta, dan beliau punya tiga. Itu bukti keseriusan sekaligus besarnya nilai ekonomi Akar Wangi.

Akar Wangi: Dari Tanah ke Botol Parfum

Proses pengolahan Akar Wangi ternyata panjang dan penuh detail. Akar dibersihkan, dikeringkan, lalu dimasukkan ke mesin penyulingan. Satu mesin bisa menampung 1,5 ton, dan butuh 16 jam untuk menghasilkan 7-10 kg minyak. Kalau musim hujan, hasilnya bisa merosot jadi 3 kg.




Harga minyak Akar Wangi ini luar biasa lho bisa tembus Rp5 juta per kilo di harga bagus, tapi bisa juga jatuh sampai Rp1,5 juta. Dari lahan 1.400 meter, bisa panen 1,5 ton. Siklusnya juga fleksibel, 12 bulan kalau musim hujan, atau cuma 8 bulan kalau kemarau panjang.

Bayangin, dari bawah tanah di kaki Gunung Cikuray, akar ini akhirnya bisa jadi bahan dasar parfum mewah di belahan dunia lain. Tapi di balik aroma elegan itu, ada keringat petani yang berhari-hari merawat tanaman. Ada cerita tentang cuaca, tentang mesin, tentang harga yang naik-turun. Buatku, ini adalah “aroma perjuangan”.

Kreativitas Tanpa Batas

Selain minyak, Akar Wangi juga bisa jadi kerajinan tangan. Pak Deni, seorang pengrajin, membuat souvenir unik berbentuk domba, dinosaurus, sampai gajah. Harganya mulai Rp65 ribu sampai Rp250 ribu. Dari situ aku sadar, petani dan pengrajin di sini nggak cuma bertahan hidup, tapi juga berkreasi.


Ada juga cerita inspiratif dari Pak Deni, Kepala Desa Sarimukti. Dulu beliau sekolah di SPP, sekarang jadi kades. Alumni SPP terbukti punya nilai lebih, bukan hanya pintar, tapi juga punya jiwa sosial dan kepemimpinan.

Regenerasi Perjuangan

Generasi muda juga nggak tinggal diam. Aku ketemu Iqbal, anggota Forum Pemuda Pelajar Mahasiswa Garut (FPPMG). Dia anak dari pejuang SPP, dan sekarang kuliah di ITG. Katanya, dia punya tanggung jawab moral untuk terus berkontribusi. Aku melihat di matanya ada semangat yang sama dengan para pendahulu.


Cerita lain datang dari pasangan suami istri, Pak Ibung dan Ibu Susi. Dulu mereka kerja di perkebunan teh PTPN. Tapi akhirnya memutuskan gabung ke SPP, dan kini mereka merasa hidupnya lebih bermakna. Mereka bahkan bisa menabung sejak ikut bergabung.


Aroma Perjuangan yang Menyentuh

Dari perjalanan ini aku belajar, bahwa “ekonomi rakyat” bukan teori yang hanya dibahas di ruang seminar. Di Garut, ekonomi rakyat itu nyata. Ada di sekolah, di rumah jamur, di tungku penyulingan Akar Wangi, di tangan pengrajin souvenir, dan di semangat anak muda desa.


Aku pulang dengan satu pemikiran yakni kita sering kali menikmati hasil tanpa tahu proses. Kita pakai parfum, minum kopi, makan jamur, tapi jarang yang sadar bahwa ada tangan-tangan penuh kerja keras di baliknya.

SPP dan masyarakat di Cilawu sudah menunjukkan bahwa perubahan itu bisa dimulai dari bawah. Dari desa, dari kebun, dari ruang kelas sederhana. Dari tangan-tangan yang nggak menyerah meski tantangan terus datang.


EBS Day Out 2025 bukan sekadar perjalanan wisata, tapi perjalanan batin. Aku jadi lebih paham bahwa aroma harum Akar Wangi ternyata menyimpan cerita perjuangan panjang. Dan aku percaya, kalau semangat seperti ini terus tumbuh, Indonesia punya harapan emas yang nggak bisa ditukar dengan apapun.




  • Share:

You Might Also Like

0 komentar